Notifikasi

Loading…

Tidak Perlu Malu Mengaku Tidak Tahu

Tidak Perlu Malu Mengaku Tidak Tahu
Foto by @Kefin Fairley

Sejak tempo dulu, kesalahan yang paling sering dilakukan oleh orang yang ditokohkan dalam masyarakat ataupun orang yang menganggap dirinya: "Tokoh" penting dalam sebuah komunitas, tidak pernah mau mengaku: "Maaf, saya tidak tahu". Karena merasa dirinya dihormati oleh masyarakat sekitarnya, karena menganggap dirinya orang pintar tempat bertanya, sehingga merasa bahwa ia harus tahu, apapun yang ditanyakan oleh orang.

Akibatnya, lahirlah jawaban yang melantur bahkan berpotensi membodohi bahkan sampai melukai perasaan masyarakat. Saya masih ingat, ketika masih duduk di bangku SD, kakak saya yang paling tua, entah karena apa tiba-tiba muntah-muntah dan demam tinggi. Pada waktu itu, berobat ke dokter atau rumah sakit hanyalah untuk orang kaya, sedangkan ajik (ayah) saya hanyalah seorang kuli bangunan di Jembrana. Walaupun kakak kami sakit cukup parah, tapi ajik tetap berangkat bekerja membawa cangkul, pukul, sekop seperti biasa, karena hanya itulah satu-satunya penghasilan yang diharapkan dapat menutupi biaya dapur bagi kami anak-anak.

Segala usaha sudah dicoba. Antara lain, menempelkan daun mengkudu yang dihangatkan ke perut kakak kami dan pisang ditumbuk hingga lumat dan ditempelkan ke kepalanya sebagai pengganti kompres. Tapi sakitnya tetap berlanjut. Mau pinjam uang kepada siapa? Tetangga kami rata-rata hidupnya 11-12 dengan keluarga kami.

Maka dipanggillah orang pintar, (sebut saja dukun). Dukun datang dan kemudian mulutnya komat-kamit. Ketika komat-kamitnya berhenti sejenak, maka ibu saya bertanya: "Ajik, sakit apa anak saya?"
Ajik Dukun, menarik nafas panjang dan menjawab : "Ubun-ubun anak ini dihisap oleh "Bojog Selem" (semacam kera/monyet hitam). Kera/monyet hitam ini merupakan sosok jadi-jadian yang memiliki taring panjang seperti gajah namun berwajah kera.

Siapa yang sering singgah di rumah ini?" Tanya Ajik Dukun dan saya langsung menjawab: "Tukang Kacang Goreng langganan kami." Nah, itu dia Bojog Selem nya."

Berhenti Langganan Kacang Goreng

Sejak saat itu, anak-anak dilarang beli kacang goreng, Tentu saja saya ikut sedih. Tapi apa boleh buat, daripada dihisap oleh Bojog Selem. Walaupun sudah dijampi-jampi dan dikasih kunyit yang sudah diberi mantra, kakak saya akhirnya meninggal.
Selang sekitar sebulan kemudian, ketika saya sedang bermain sambil berlari-lari, tiba-tiba kaki saya tertancap paku. Saya coba mencabut, tapi tidak bisa. Saya duduk di tanah dan tak tampak seorangpun yang bisa diminta tolong.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, Tukang Kacang langganan kami dulu sudah berjongkok di samping saya. Keringat dingin keluar karena terbayang saya akan dihisap oleh Bojog Selem yang berwajah Tukang Kacang. Tapi Tukang Kacang tersebut dengan suara lembut membujuk saya dan membantu mencabut besi paku yang tertancap dalam di telapak kaki saya. Bahkan ia menyobek baju kaos dalamnya untuk membalut luka saya.

Saya jadi terheran heran, ternyata "Bojog Selem" ini sangat baik. Kemudian masih dengan suara ramah bertanya, mengapa saya menjerit menengoknya dan mengapa ia tidak boleh lagi datang kerumah kami? Maka saya jelaskan kepadanya bahwa menurut Ajik Dukun, dirinya adalah "Bojog Selem".

Wajahnya tampak sedih dan tampak air mata mengalir dari matanya. Kemudian, ia memegang tangan saya untuk diantarkan pulang kerumah. Tentu saja keluarga saya sangat kaget melihat saya dituntun oleh "Bojog Selem". Sebelum sempat keluarga saya salah sangka maka saya langsung berteriak: "Ajik ini orang baik, bukan Bojog Selem. Tadi kaki saya terinjak besi paku, Ajik inilah yang menolong saya."

Tukang Kacang Bercerita

"Maaf, ibu dan bapak, saya bukan seperti yang disangkakan. Saya senang pada anak-anak, bukan untuk mencelakakan mereka tapi karena saya rindu pada anak saya satu-satunya yang meninggal karena kecelakaan. Ketika menjual kacang goreng di sini sungguh saya sama sekali tidak mengambil keuntungan apapun. Semata-mata, hanya pelepas kangen pada anak-anak." Dan hingga di sini, Tukang Kacang ini tak kuasa menahan pecahnya tangis.

Kami semua terdiam dan sejak saat itu, Tukang Kacang ini kembali menjadi langganan tetap kami. Sering kali kalau ia datang dan memandang wajah saya, terus bergumam dalam bahasa Bali: "Kalau anak saya masih hidup, ia juga sudah sekolah..." Dan kemudian ia menggelengkan kepala dengan sangat sedih.

Sejak kejadian itu, kami seisi rumah tidak percaya lagi akan yang namanya Dukun atau Orang Pintar. Karena jawabannya: "Asmong". Kami sampai melukai hati Penjual Kacang goreng yang baik hati tersebut. Karena ternyata Penjual Kacang goreng yang dikatakan "Bojog Selem" tersebut hatinya jauh lebih mulia ketimbang Ajik Dukun.

Refleksi Diri

Kisah ini ditulis berdasarkan kejadian yang sudah lama sekali. Tapi masih membekas dalam di hati serta menjadi pelajaran berharga kalau ada yang bertanya sesuatu dan kita tidak tahu jawabannya, maka jawablah sejujurnya: "Maaf, saya tidak tahu."

Hal ini sama sekali tidak akan menurunkan derajat dan level kita di mata orang, malahan akan semakin dihargai. Ketimbang: "Asmong" atau "Asbun" yang dapat menimbulkan petaka bagi orang lain.
Karena di dunia ini, sepintar apapun seseorang bahkan seorang professor, tidak mungkin mengetahui segala sesuatu. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Post a Comment