Notifikasi

Loading…

Pengaruh Kerajaan Gelgel dalam Budaya Bali

Pengaruh Kerajaan Gelgel dalam Budaya Bali

Pendahuluan

Pendahuluan Kerajaan Gelgel

Kerajaan Gelgel merupakan salah satu kerajaan paling berpengaruh dalam sejarah Bali yang meninggalkan jejak mendalam terhadap perkembangan budaya, sosial, dan spiritual masyarakatnya. Nama Gelgel tidak hanya tercatat dalam catatan sejarah, tetapi juga hidup dalam nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun, baik dalam bentuk seni, sistem keagamaan, maupun tradisi sosial. Dalam konteks sejarah Indonesia, Gelgel menjadi simbol kejayaan peradaban Bali yang berhasil menggabungkan unsur keagamaan, adat, dan kekuasaan menjadi satu kesatuan harmonis yang bertahan hingga kini. Ketika kita berbicara tentang budaya Bali yang sarat makna, sejatinya kita juga sedang menelusuri warisan panjang dari masa kejayaan Kerajaan Gelgel yang menjadi pondasi utama pembentukan identitas Bali modern.

Sebagai kerajaan yang berkembang sekitar abad ke-14 hingga ke-17, Gelgel menjadi pusat kekuasaan yang membawa Bali ke masa keemasan. Melalui kepemimpinan raja-raja besar seperti Dalem Waturenggong, Gelgel tidak hanya memperluas wilayah kekuasaan, tetapi juga memperkuat hubungan antara agama Hindu dan budaya lokal. Dalam masa pemerintahannya, kesenian Bali seperti tari, musik gamelan, dan arsitektur pura mengalami perkembangan pesat. Bahkan, sistem kasta dan struktur sosial masyarakat Bali yang dikenal hingga kini merupakan hasil pengaruh kuat dari sistem pemerintahan yang terorganisir di era Gelgel. Dalam konteks inilah, memahami peran Kerajaan Gelgel menjadi penting, bukan sekadar untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk memahami akar kebudayaan Bali yang kokoh dan dinamis.

Kebudayaan Bali dikenal luas di dunia karena keindahan dan kedalaman maknanya, namun sedikit yang mengetahui bahwa sebagian besar filosofi dan sistem sosial yang menopang kebudayaan tersebut lahir dari sistem kerajaan seperti Gelgel. Tradisi Ngaben, upacara adat, konsep Tri Hita Karana, hingga perayaan Galungan dan Kuningan semuanya memiliki benang merah yang mengarah pada masa Gelgel, ketika nilai-nilai harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan mulai dilembagakan secara formal dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai inilah yang menjadikan masyarakat Bali memiliki karakter gotong royong, religius, dan memiliki rasa estetika yang tinggi.

Dalam sejarahnya, Kerajaan Gelgel juga menjadi pusat interaksi antara Bali dan dunia luar. Melalui hubungan diplomatik dan perdagangan, Gelgel membuka diri terhadap pengaruh luar tanpa kehilangan identitas lokalnya. Kontak dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, Lombok, hingga Makassar menciptakan dinamika budaya yang memperkaya ekspresi seni dan sistem kepercayaan masyarakat Bali. Namun yang menarik, meskipun berbagai pengaruh luar masuk, budaya Bali tetap mampu mempertahankan esensi lokalnya melalui proses adaptasi kreatif yang cerdas. Di sinilah terlihat kearifan Gelgel sebagai pusat peradaban yang memahami bahwa kekuatan sejati budaya bukanlah dalam ketertutupan, melainkan kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.

Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana Kerajaan Gelgel memainkan peran penting dalam pembentukan budaya Bali. Pembahasan akan meliputi sejarah berdirinya kerajaan, struktur politik dan sosialnya, hingga pengaruhnya terhadap seni, arsitektur, dan tradisi spiritual masyarakat Bali. Setiap bab akan membawa kita semakin dekat dengan pemahaman bahwa budaya Bali yang kita kenal hari ini bukanlah hasil kebetulan, melainkan akumulasi dari perjalanan panjang yang dimulai sejak masa kejayaan Gelgel. Dengan memahami warisan ini, kita tidak hanya belajar tentang masa lalu, tetapi juga menemukan inspirasi untuk menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas di masa kini.

Sejarah dan Latar Belakang Kerajaan Gelgel

Sejarah dan Latar Belakang Kerajaan Gelgel

Asal Usul dan Berdirinya Kerajaan Gelgel

Asal mula berdirinya Kerajaan Gelgel tidak dapat dilepaskan dari masa setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada akhir abad ke-15. Ketika kekuasaan Majapahit mulai melemah, banyak bangsawan dan tokoh spiritual berpindah ke Bali, membawa serta pengaruh budaya, agama, dan sistem pemerintahan dari Jawa. Salah satu tokoh penting dalam proses ini adalah Sri Kresna Kepakisan, yang kemudian diangkat oleh Majapahit sebagai penguasa Bali. Dari keturunan inilah kelak lahir Kerajaan Gelgel yang menjadi pusat kebudayaan dan spiritualitas Hindu Bali. Lokasi Gelgel yang terletak di Kabupaten Klungkung saat ini menjadi saksi bisu perkembangan pesat peradaban Bali pada masa itu.

Kerajaan Gelgel mulai dikenal sebagai kekuatan besar di bawah pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir, namun puncak kejayaannya terjadi pada masa Dalem Waturenggong pada abad ke-16. Di bawah kepemimpinan raja ini, Bali mengalami stabilitas politik, ekonomi, dan sosial yang luar biasa. Tidak hanya berhasil menyatukan seluruh wilayah Bali di bawah satu pemerintahan, Gelgel juga menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain seperti Blambangan di Jawa Timur dan Makassar di Sulawesi. Masa ini juga menjadi periode penting bagi perkembangan kesenian dan sistem keagamaan Bali yang kelak menjadi ciri khas unik pulau ini.

Kejayaan Gelgel tidak hanya diukur dari kekuasaan politiknya, tetapi juga dari kemampuannya membangun sistem budaya yang kokoh. Dalam masa pemerintahan Dalem Waturenggong, konsep harmoni sosial dan spiritual diterapkan secara sistematis melalui lembaga keagamaan dan adat. Pura Besakih yang menjadi pusat spiritual utama umat Hindu Bali juga mendapatkan perhatian besar pada masa ini, menunjukkan bagaimana kerajaan berperan aktif dalam memperkuat hubungan antara manusia dan Tuhan. Selain itu, seni tari, musik gamelan, dan sastra Bali berkembang pesat sebagai bentuk ekspresi dari nilai-nilai spiritual dan estetika yang dijunjung tinggi.

Secara sosial, masyarakat Gelgel hidup dalam sistem yang teratur dengan pembagian peran berdasarkan kasta dan profesi. Struktur sosial ini memungkinkan pemerintahan berjalan dengan efisien, di mana para Brahmana berperan sebagai penuntun spiritual, Ksatria sebagai pelindung dan pemimpin, serta Waisya dan Sudra sebagai penggerak ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Sistem ini mencerminkan penerapan ajaran Hindu dalam konteks lokal, di mana harmoni antara setiap lapisan masyarakat dianggap sebagai kunci kestabilan kerajaan. Nilai gotong royong, kerja sama, dan kepatuhan terhadap adat menjadi dasar kehidupan sosial di bawah naungan Gelgel.

Namun, seiring berjalannya waktu, Kerajaan Gelgel juga menghadapi tantangan internal dan eksternal yang menguji kekuatannya. Perebutan kekuasaan di antara keluarga kerajaan, serta munculnya kerajaan-kerajaan kecil di Bali yang ingin mandiri, menjadi awal mula kemunduran Gelgel. Meski demikian, warisan budaya dan sistem sosial yang telah dibangun tidak hilang begitu saja. Bahkan setelah pusat pemerintahan berpindah ke Klungkung, nilai-nilai yang diwariskan Gelgel tetap hidup dalam tradisi, ritual, dan kehidupan masyarakat Bali hingga saat ini. Dengan demikian, sejarah Gelgel bukan hanya kisah kejayaan masa lalu, tetapi juga fondasi kokoh bagi identitas Bali yang kita kenal sekarang.

Struktur Sosial dan Pemerintahan di Era Kerajaan Gelgel

Struktur Sosial dan Pemerintahan Kerajaan Gelgel

Sistem Pemerintahan dan Kepemimpinan

Sistem Pemerintahan Kerajaan Gelgel

Pemerintahan Kerajaan Gelgel dibangun di atas sistem monarki yang kuat dengan raja sebagai pusat kekuasaan tertinggi. Raja tidak hanya berfungsi sebagai kepala pemerintahan tetapi juga sebagai pemimpin spiritual dan simbol keilahian di bumi. Dalam konteks budaya Bali yang sangat kental dengan nilai-nilai religius, raja dianggap sebagai titisan Dewa yang bertugas menjaga keseimbangan antara alam semesta, manusia, dan dunia spiritual. Oleh karena itu, keputusan politik dan kebijakan kerajaan selalu dilandaskan pada ajaran dharma dan prinsip Tri Hita Karana — harmoni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan lingkungan. Struktur pemerintahan ini menjadikan Gelgel bukan hanya kuat secara politik, tetapi juga memiliki legitimasi moral dan spiritual di mata rakyatnya.

Raja dalam sistem Gelgel dibantu oleh sejumlah pejabat tinggi yang disebut mantri atau patih, yang berfungsi sebagai tangan kanan dalam mengatur urusan administratif dan diplomatik. Mereka biasanya berasal dari kalangan bangsawan atau keluarga kerajaan yang memiliki loyalitas tinggi terhadap Dalem (sebutan bagi raja). Setiap daerah atau wilayah di bawah kekuasaan Gelgel juga dipimpin oleh seorang pemuka lokal yang disebut "Punggawa", yang bertanggung jawab menjaga stabilitas, mengatur ekonomi, dan memastikan bahwa setiap kebijakan pusat dijalankan dengan baik. Struktur hierarki ini mencerminkan kemampuan Gelgel dalam membangun sistem pemerintahan yang efektif meski wilayah kekuasaannya luas dan mencakup berbagai kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya berbeda.

Selain pemerintahan formal, Kerajaan Gelgel juga menaruh perhatian besar terhadap kehidupan adat dan hukum tradisional. Di tingkat masyarakat, hukum adat atau awig-awig menjadi pedoman utama dalam menjaga keteraturan sosial. Setiap pelanggaran terhadap norma adat akan diselesaikan melalui lembaga desa pakraman, yang memiliki otonomi dalam menegakkan aturan berbasis spiritualitas dan gotong royong. Sistem ini menunjukkan bahwa Gelgel memahami pentingnya keseimbangan antara kekuasaan politik dan kearifan lokal. Melalui integrasi ini, tercipta stabilitas sosial yang mendukung kelangsungan pemerintahan selama berabad-abad.

Hubungan antara rakyat dan pemimpin di Gelgel dibangun di atas rasa hormat, loyalitas, dan kepercayaan. Raja dianggap sebagai “bapa rakyat”, sementara rakyat adalah “anak-anak” yang wajib patuh dan setia. Namun, hubungan ini tidak bersifat otoriter; justru diwarnai oleh prinsip saling melindungi dan mengayomi. Raja diharapkan menjadi contoh moral, pemimpin bijak, dan penjaga kesejahteraan bersama. Di sisi lain, rakyat mendukung kerajaan melalui tenaga, hasil bumi, dan kesetiaan terhadap adat. Konsep ini memperlihatkan bahwa dalam sistem politik Gelgel, kekuasaan bukan sekadar alat dominasi, melainkan tanggung jawab spiritual yang dijalankan demi harmoni semesta.

Menariknya, sistem birokrasi dan pemerintahan Gelgel juga berpengaruh besar terhadap pembentukan struktur sosial di Bali modern. Banyak istilah, sistem kasta, dan model organisasi masyarakat Bali yang berasal dari masa ini. Tradisi seperti sistem banjar, pelaksanaan upacara adat secara kolektif, dan pembagian peran dalam masyarakat merupakan warisan langsung dari tatanan sosial Gelgel. Nilai-nilai kepemimpinan raja yang mengedepankan keseimbangan, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial masih tercermin dalam kepemimpinan desa adat di Bali hingga kini. Dengan demikian, pemerintahan Gelgel menjadi contoh bagaimana kekuasaan dapat bersinergi dengan kearifan lokal untuk menciptakan ketertiban dan kemakmuran.

Pengaruh Kerajaan Gelgel terhadap Budaya dan Kesenian Bali

Pengaruh Kerajaan Gelgel terhadap Budaya dan Kesenian Bali

Kemajuan Seni, Sastra, dan Musik di Era Gelgel

Kemajuan Seni Sastra dan Musik di Era Gelgel

Masa kejayaan Kerajaan Gelgel dikenal sebagai periode emas dalam sejarah kesenian dan kebudayaan Bali. Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, berbagai bentuk seni — mulai dari seni tari, musik gamelan, seni rupa, hingga sastra klasik Bali — berkembang dengan pesat dan mencapai puncak keindahannya. Istana Gelgel berperan sebagai pusat seni dan kebudayaan, tempat para seniman, sastrawan, dan rohaniawan berkumpul untuk menciptakan karya yang tidak hanya indah tetapi juga sarat makna spiritual. Setiap karya seni pada masa itu bukan sekadar hiburan, melainkan wujud ekspresi keagamaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai dharma yang menjadi pedoman hidup masyarakat Bali.

Salah satu bentuk seni yang berkembang pesat adalah seni tari. Banyak tarian sakral Bali seperti Tari Rejang, Tari Baris, dan Tari Pendet yang berakar dari upacara keagamaan masa Gelgel. Tarian-tarian ini memiliki fungsi spiritual yang dalam, biasanya dipentaskan untuk memuliakan dewa-dewi atau menyucikan tempat suci. Selain itu, seni pertunjukan seperti wayang kulit juga mengalami perkembangan luar biasa. Wayang tidak hanya menjadi hiburan rakyat tetapi juga alat pendidikan moral dan penyebaran nilai-nilai agama Hindu. Cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana diterjemahkan ke dalam konteks lokal Bali, menjadikan kesenian sebagai media penyatuan antara spiritualitas dan kehidupan sehari-hari.

Bidang sastra juga mendapatkan tempat istimewa di masa Gelgel. Banyak karya sastra klasik Bali lahir pada periode ini, seperti *Kidung Wargasari*, *Kakawin Sutasoma*, dan *Babad Dalem*, yang menceritakan sejarah, ajaran moral, dan kisah kepemimpinan raja-raja Bali. Bahasa Kawi dan aksara Bali digunakan secara luas dalam karya tulis, mencerminkan kemajuan literasi dan intelektualitas masyarakat kerajaan. Pusat-pusat pendidikan agama dan sastra juga berdiri di lingkungan puri dan griya para Brahmana. Di sinilah nilai-nilai dharma, estetika, dan etika diajarkan, menjadikan Gelgel sebagai pusat intelektual dan spiritual yang sangat berpengaruh.

Seni musik tradisional, terutama gamelan Bali, juga mencapai bentuknya yang paling kompleks pada masa Gelgel. Struktur gamelan mulai diperluas, dengan penambahan instrumen dan pola tabuhan yang lebih variatif. Musik digunakan tidak hanya dalam upacara keagamaan, tetapi juga sebagai bagian dari ritual kerajaan dan hiburan istana. Komposisi gamelan seperti *Gambuh* dan *Semar Pegulingan* lahir dari lingkungan Gelgel dan menjadi warisan musik klasik Bali yang masih lestari hingga kini. Melalui musik, masyarakat Bali mengekspresikan rasa syukur, penghormatan, dan koneksi spiritual terhadap alam semesta.

Selain kesenian dan sastra, arsitektur tradisional Bali juga mengalami kemajuan pada masa Kerajaan Gelgel. Konsep tata ruang pura, istana, dan desa adat dirancang berdasarkan filosofi Tri Mandala, yaitu pembagian ruang suci (utama mandala), madya mandala, dan nista mandala. Prinsip ini melambangkan keseimbangan kosmis dan spiritual yang menjadi dasar arsitektur Bali hingga saat ini. Pura Besakih, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Goa Lawah adalah contoh karya arsitektur yang mendapat perhatian besar di masa Gelgel. Setiap bangunan tidak hanya berfungsi secara fisik, tetapi juga memiliki makna simbolik yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan dan alam semesta.

Hubungan Kerajaan Gelgel dengan Agama dan Spiritualitas Bali

Hubungan Kerajaan Gelgel dengan Agama dan Spiritualitas Bali

Peran Raja sebagai Pemimpin Spiritual dan Duniawi

Peran Raja sebagai Pemimpin Spiritual dan Duniawi

Salah satu aspek yang paling menonjol dari Kerajaan Gelgel adalah kedudukan rajanya yang memiliki peran ganda, yakni sebagai pemimpin duniawi sekaligus pemimpin spiritual. Raja dianggap sebagai penjelmaan kekuatan ilahi di bumi, yang berfungsi menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan para dewa. Dalam konteks budaya Bali, hubungan antara raja dan spiritualitas begitu erat sehingga setiap keputusan kerajaan harus mempertimbangkan nilai-nilai dharma dan kesucian. Raja tidak hanya mengatur politik dan ekonomi, tetapi juga menjadi simbol keharmonisan kosmis, atau yang disebut *Tri Hita Karana*: hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, konsep kepemimpinan spiritual ini diwujudkan dalam berbagai ritual dan kegiatan keagamaan besar. Raja sering berpartisipasi langsung dalam upacara *yadnya* untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Upacara seperti *Eka Dasa Rudra* dan *Panca Wali Krama* diyakini berasal dari tradisi yang diperkuat pada era Gelgel, di mana seluruh masyarakat berpartisipasi untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Dengan demikian, kerajaan bukan hanya simbol kekuasaan politik, melainkan juga pusat penyatuan spiritual masyarakat Bali.

Sistem keagamaan pada masa Gelgel sangat dipengaruhi oleh ajaran Hindu Siwa-Budha yang berkembang di Jawa Timur, kemudian diadaptasi sesuai dengan kepercayaan lokal. Sinkretisme ini menghasilkan bentuk agama yang khas Bali: menghormati banyak dewa, tetapi dengan konsep utama pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sumber dari segala kekuatan alam semesta. Para pendeta Brahmana dan Bhagawan memainkan peran penting dalam menyebarkan ajaran ini, dengan dukungan penuh dari istana Gelgel. Mereka mendirikan pura-pura besar dan memperkenalkan sistem upacara yang menjadi dasar kehidupan spiritual masyarakat Bali hingga sekarang.

Selain pendalaman spiritual melalui upacara dan ritual, Kerajaan Gelgel juga menjadi pusat penyebaran ajaran moral dan filsafat hidup. Nilai-nilai seperti *tat twam asi* (aku adalah engkau), *karma phala* (hukum sebab-akibat), dan *samsara* (siklus kelahiran kembali) disebarkan melalui pendidikan agama di lingkungan puri dan griya. Hal ini menumbuhkan kesadaran spiritual yang mendalam di kalangan masyarakat, bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dan kehidupan harus dijalani dengan niat suci. Pengajaran seperti ini membuat spiritualitas Bali tidak hanya ritualistik, tetapi juga reflektif dan penuh kebijaksanaan.

Peranan raja sebagai penjaga kesucian juga tercermin dari banyaknya pura yang dibangun di bawah perlindungan Kerajaan Gelgel. Misalnya, Pura Besakih di kaki Gunung Agung yang menjadi pura terbesar dan tersuci di Bali, mendapat perhatian khusus dari kerajaan. Raja dan bangsawan Gelgel kerap melakukan persembahan di sana untuk menjaga keharmonisan alam dan kesejahteraan negeri. Selain itu, kerajaan juga membina hubungan spiritual dengan pura-pura lain seperti Pura Luhur Uluwatu dan Pura Goa Lawah. Pura-pura tersebut berfungsi sebagai penjaga arah mata angin, menciptakan sistem spiritual yang terorganisir dan menyeluruh di seluruh Pulau Bali.

Penutup: Warisan Abadi Kerajaan Gelgel dalam Identitas Bali

Kerajaan Gelgel bukan sekadar bab dalam lembaran sejarah Bali, melainkan fondasi dari seluruh sistem sosial, politik, dan spiritual yang membentuk jati diri masyarakat Bali hingga kini. Melalui kepemimpinan bijak para rajanya, terutama Dalem Waturenggong, kerajaan ini berhasil menanamkan nilai-nilai luhur yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari: keseimbangan antara dunia material dan spiritual, penghormatan terhadap leluhur, serta keteraturan sosial yang berlandaskan dharma. Pengaruh tersebut tidak hanya terasa dalam struktur pemerintahan tradisional, tetapi juga dalam seni, arsitektur pura, musik gamelan, hingga adat istiadat yang dijalankan di setiap desa adat Bali.

Jejak Kerajaan Gelgel tampak jelas dalam cara masyarakat Bali menjaga kesucian dan keharmonisan hidup. Nilai-nilai seperti *Tri Hita Karana*, *Tat Twam Asi*, dan *Karma Phala* bukan hanya ajaran spiritual, tetapi juga prinsip hidup yang diwariskan lintas generasi. Dalam dunia modern yang semakin cepat berubah, ajaran-ajaran ini tetap relevan sebagai panduan moral yang menuntun manusia untuk hidup selaras dengan alam dan sesama. Kesadaran ini menunjukkan bahwa warisan Gelgel bukan sekadar peninggalan sejarah, melainkan energi hidup yang terus berdenyut dalam nadi kebudayaan Bali.

Bahkan di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, identitas Bali tetap kuat berkat fondasi spiritual dan budaya yang dibangun sejak masa Gelgel. Masyarakat Bali mampu mengadopsi kemajuan tanpa kehilangan akar budayanya. Pura-pura masih ramai dengan upacara, tari-tarian sakral tetap ditampilkan, dan bahasa Bali klasik masih dilestarikan dalam berbagai ritual. Semua ini merupakan bukti nyata bahwa pengaruh Gelgel tidak pernah pudar, melainkan terus bertransformasi dan menyesuaikan diri dengan zaman, tanpa kehilangan esensinya.

Dari sudut pandang sejarah, Kerajaan Gelgel dapat disebut sebagai periode keemasan Bali. Dari sinilah lahir sistem pemerintahan yang teratur, seni yang berkembang pesat, dan kehidupan spiritual yang terjalin erat dengan tatanan sosial. Semua aspek kehidupan ini membentuk mozaik budaya Bali yang kita kenal dan kagumi hingga kini. Maka, memahami Gelgel berarti memahami akar terdalam dari kebudayaan Bali itu sendiri — sebuah peradaban yang menyeimbangkan kekuatan duniawi dan kekuatan batin dalam satu harmoni.

Sebagai penutup, mari kita renungkan bagaimana nilai-nilai dan kebijaksanaan yang diwariskan dari Kerajaan Gelgel dapat kita terapkan di masa kini. Dalam dunia yang semakin kompleks dan sering kali kehilangan arah spiritual, warisan Gelgel mengajarkan pentingnya keseimbangan, kesucian niat, dan tanggung jawab moral terhadap alam serta sesama manusia. Artikel ini diharapkan mampu membuka ruang diskusi tentang bagaimana kita, sebagai generasi modern, dapat menjaga dan mengembangkan warisan luhur ini agar tetap hidup dan relevan untuk masa depan Bali dan dunia. Silakan bagikan pandangan Anda di kolom komentar — bagaimana menurut Anda cara terbaik menjaga warisan budaya Gelgel di era globalisasi ini?

Post a Comment