Makna dari Rahina Buda Cemeng Klawu dalam Hindu
Dalam peradaban Hindu di Bali, setiap harinya adalah sebuah perayaan spiritual yang mengalir seiring dengan ritme alam. Namun, di antara riuh rendah rutinitas harian, terdapat satu hari yang menyimpan keagungan tersendiri: Rahina Buda Cemeng Klawu atau yang akrab disebut Buda Wage Klawu. Seolah-olah waktu berhenti sejenak untuk merayakan kehadiran Bhatara Rambut Sedana atau yang lebih akrab disapa Dewi Laksmi, yang dipercaya sebagai pemberi kemakmuran dan kesejahteraan.
Setiap 210 hari atau 6 bulan sekali, pulau Bali terhanyut dalam keharuan upacara Buda Cemeng Klawu. Sebuah peristiwa sakral yang memancarkan keindahan spiritualitas dan kekayaan budaya. Hari suci ini jatuh pada Rabu Wage wuku Klawu kalender Saka-Bali, dan memancarkan cahaya keberkahan ke setiap sudut pulau, menggugah hati para penganut Hindu untuk merayakannya dengan penuh kekhusyukan.
Bhatara Rambut Sedana, atau Dewi Laksmi, menjadi fokus utama pemujaan pada upacara ini. Dalam gemerlapnya ritual yang dihiasi dengan bunga-bunga yang melambangkan kehidupan, masyarakat Bali bersujud dan berserah diri, memohon limpahan kemakmuran dan kesejahteraan dari sang Dewi. Upacara ini bukan sekadar rangkaian tradisi, melainkan simbol kebersamaan antara manusia dan alam, memperkokoh ikatan spiritual yang tak ternilai.
Ketika senja di Bali pada hari Rabu Wage wuku Klawu, aroma dupa dan bunyi kentongan akan mengisi udara. Para pendeta dan masyarakat setempat berkumpul di pura-pura yang diselimuti nuansa sakral, membangkitkan atmosfer keramat yang menyebar dari puncak pegunungan hingga ke tepian pantai. Suasana keramaian pasar tradisional Bali menjadi hening, seolah alam itu sendiri turut menghormati keberlangsungan upacara ini.
Pemahaman Tentang Buda Cemeng Klawu
Yoga Dewi Laksmi
Di Bali, hari Rahina Buda Cemeng Klawu memancarkan keanggunan spiritual dengan meyakini bahwa Dewi Laksmi, atau Ida Betari Rambut Sedana, tengah melaksanakan yoga. Pada hari yang suci ini, tampaknya alam merasakan denyut tenang, seolah-olah Dewi Laksmi sedang menari dengan indah di antara bunga-bunga dan gemerlap cahaya spiritual, tradisi ini mengajarkan bahwa pada hari ini. Kita dihimbau untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi, khususnya uang, dan merenung dalam keseimbangan rohani.
Larangan Uang
Percaya atau tidak, pada Buda Cemeng Klawu, menggunakan uang untuk hal-hal yang tidak berubah menjadi wujud barang dilarang. Membayar hutang atau menabung menjadi suatu tindakan yang tak dilakukan. Dipercayai bahwa uang atau kekayaan yang digunakan dalam bentuk semacam itu akan hilang selamanya, terserap oleh sifat tamak dan serakah manusia. Inilah hari di mana uang bukanlah penentu segalanya, melainkan saat untuk menghargai kecantikan tanpa terikat materi.
Upacara Kesucian
Buda Cemeng Klawu bukan hanya persembahan spiritual dari beberapa, tetapi sebuah tarian kesucian yang diikuti oleh seluruh umat Hindu di Bali. Terutama dirayakan oleh mereka yang terlibat dalam dunia perdagangan, dari pedagang di pasar. Pemilik warung, hingga perusahaan-perusahaan yang mengalirkan dana dengan cepat. Setiap tempat yang dijadikan tempat penyimpanan uang dihiasi dengan sesajen khusus, sebagai ungkapan terima kasih kepada Ida Betara Sedana atau Dewi Laksmi. Di balik segala gemerlap dunia bisnis, Bali menyuarakan kebersamaan spiritual yang kaya, mengingatkan bahwa kekayaan sejati dapat ditemukan melalui keseimbangan dan rasa syukur.
Tanpa Uang, Bersama Dewi Laksmi
Hari Buda Cemeng Klawu mengajarkan bahwa di antara kerumitan kehidupan sehari-hari, terdapat keindahan tanpa uang. Dewi Laksmi, yang sedang melaksanakan yoga, mengingatkan kita untuk menemukan kekayaan di dalam diri, bukan di dalam harta materi semata. Inilah saatnya untuk bersyukur dan menghormati keindahan tanpa batas yang ada di sekitar kita.
Filosofi Buda Cemeng Klawu
Ketika Zaman dan Uang Menari dalam Nitisastra
Dalam kekawin Nitisastra IV.7, bijak kata-kata menciptakan ceruk pemikiran yang dalam. "Singgih yan tekaning yuganta kali tan hana lewiha sakeng mahadhana. Tan waktan guna sura pandita widagdha pada mengayap ring dhaneswara." Artinya, ketika zaman telah datang, tidak ada yang lebih bernilai dari pada uang. Para ilmuwan, pemberani, orang suci, bahkan orang yang kuat, semuanya menjadi pelayan orang kaya. Pesan ini menyiratkan bahwa uang pada hakikatnya hanyalah sarana, bukan tujuan hidup.
Mengantarkan Hidup Bahagia
Dari sumber-sumber sastra Hindu tersebut, tampak jelas bahwa uang bukanlah sesuatu yang mutlak dianggap sebagai tujuan hidup. Uang adalah sarana yang diberikan untuk dijalani, dan penggunaannya akan menjadi penentu bagaimana seseorang menjalani hidupnya. Bila uang digunakan sesuai dengan konsep ketuhanan, itu akan menjadi alat yang sangat berguna untuk mengantarkan manusia menuju hidup bahagia lahir dan batin. Namun, jika uang dianggap sebagai tujuan utama, kesengsaraan pun dapat menjadi bayang-bayang yang menyertai.
Tempatkan Uang sebagai Alat Mewujudkan Kebaikan
Filosofi Buda Cemeng Klawu mengajarkan kita untuk meletakkan uang sebagai alat mewujudkan Dharma, kebenaran, dan kebaikan. Dalam konteks ini, uang bukanlah sumber kebahagiaan sejati, melainkan alat yang dapat digunakan untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan. Hal ini menjadi sebuah panggilan untuk menjalani kehidupan dengan bijak, memandang uang sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, bukan sebagai tujuan akhir.
Sarana Buda Cemeng Klawu
Upacara Buda Cemeng Klawu tidaklah diiringi oleh sarana yang khusus. Tetapi justru menyerahkan kebebasan kreatifitas kepada masing-masing desa, kala, dan patra. Canang sari, banten pejati, dan bebantenan tumpeng 7 adalah beberapa sarana yang digunakan, disesuaikan dengan tradisi dan kemampuan umat Hindu di setiap wilayah. Keberagaman ini menciptakan pesta spiritual yang memukau, menggambarkan keindahan tanpa batas dalam penghormatan kepada Dewi Laksmi. Semoga pesan dan keindahan Buda Cemeng Klawu membawa harmoni dan kebijaksanaan dalam hidup setiap semeton. Suksma.