Notifikasi

Loading…

Upacara Mekotek: Tradisi Pemuda dalam Merayakan Keseimbangan

Bali memang erat kaitannya dengan sebuah tradisi dan perayaan hari tertentu. Semua perayaan tersebut mempunyai makna tertentu. Sehingga tak heran jika Bali bukan hanya memiliki kekayaan alam yang bisa dijadikan objek wisata, namun juga memiliki tradisi yang unik dari warisan budaya leluhur.

Upacara yang paling terkenal di Bali dan tidak asing lagi dikalangan masyarakat hingga para wisatawan yaitu Upacara Mekotek. Upacara yang begitu sakral dianggap oleh masyarakat Bali dan dijaga kelestariannya. Lebih lanjut, Upacara Mekotek merupakan upacara penolak bala. Upacara Mekotek ini sudah diwarisi tradisinya secara bergenerasi dari para leluhur.

Penasarankan bagaimana Upacara Mekotek dan makna yang terkandung didalamnya? Yuk lebih mengenal upacara Mekotek lebih dekat!

Upacara Mekotek Tradisi Pemuda dalam Merayakan Keseimbangan


Sejarah Upacara Mekotek

Mekotek pada awalnya dilaksanakan untuk menyambur prajurit Kerajaan Mengwi yang telah memenangkan pertempuran saat melawan kerajaan Blambangan di Jawa. Namun, saat Belanda menguasai pemerintahan Bali pada tahun 1920-an, pelaksanaan Upacara Mekotek ini pelaksanaannya ditiadakan. Alasan Belanda melarang pelaksanaan tradisi ini takut terjadinya pemberontakan karena permasalahan politik.

Namun, seiring dilarangnya pelaksanaan tradisi tersebut terjadilah insiden meninggalnya beberapa orang masyarakat sekitar empat hingga enam orang meninggal secara mendadak tanpa sebab yang pasti. Maka, masyarakat meyakini bahwa insiden tersebut akibat dari tidak terlaksananya tradisi Upacara Mekotek yang menjadi penolak bala.

Hal inilah yang menyebabkan Upacara Mekotek dilaksanakan kembali namun ada perubahan dalam properti yang digunakan dalam upacara ini yaitu diganti menjadi kayu pulet dari properti tombak. Sejak saat itu, masyarakat selalu menggunakan kayu pulet dalam pelaksanaan Upacara Mekotek.

Makna Upacara Mekotek

Upacara Mekotek ini selalu diselenggarakan di Desa Munggu yang sangat unik dalam pelaksanaannya. Keunikan Upacara Mekotek ini terletak pada proses tradisi yang dilakukan oleh masyarakat dengan diawali oleh persembahayangan kemudian masyarakat berkeliling desa dengan mengangkat tongkat.

Pelaksanaan Upacara Mekotek ini dilaksanakan untuk memohon keselamatan dan terhindar dari bala, wabah penyakit dan roh-roh jahat. Upacara ini diyakini akan memberikan keselamatan dan kesububuran dalam sektor pertanian di Desa Mangu.

Selain itu, Upacara Mekotek ini juga dimaknai dengan pemberian hormat kepada jasa pahlawan yang memperingati kemenangan perang Kerajaan Mengwi dalam hal perluasan wilayah pada saat zaman dahulu. Hal ini juga ada kaitannya dengan jatuhnya hari Upacara Mekotek yang dilaksanakan pada setiap enam bulan sekali atau tepatnya Hari Raya Kuningan. Hal ini dikarenakan Hari Raya Kuningan ini menjadi hari melakukan semedi oleh Raja Mengwi untuk mengadakan perlawanan tepat pada hari Kuningan.

Makna lain yang tersirat dalam Tradisi Mekotek ini adalah menjadi alat pemersatu warga terutama bagi pemuda yang menjadi kegiatan positif dan menjauhi segala macam kegiatan negatif. Pada dasarnya, Upacara Mekotek ini dilaksanakan bagi pemuda untuk menjaga keseimbangan Desa Mangu.

Pelaksanaan Upacara Mekotek

Upacara Mekotek atau yang dikenal dengan Tradisi Ngerebek. Nama Makotek diambil dari kata “kotek” yang berarti suara atau bunyi yang menimbulkan persentuhan kayu-kayu dilakukan pada saat prosesi Upacara Makotek.

Tradisi Makotek yang dilaksanakan secara rutin setiap 6 bulan sekali (210 hari sesuai kalender Hindu) tepatnya 10 hari setelah Hari Raya Kuningan. Prosesi ini terjadi di Desa Munggu, Mengwi, Badung. Dikenal juga dengan istilah Ngerebek, dan tujuan dilaksanakannya upacara ini adalah untuk memohon keselamatan. Tradisi Makotek juga dimaknai sebagai tradisi tolak bala bagi masyarakat di Desa Munggu. Tradisi Makotek dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Desa Adat Munggu yang terdiri atas tiga belas banjar dan diikuti kurang lebih 2000-an orang peserta.

Pada sore harinya, setelah melakukan persembahyangan bersama menyambut hari raya Kuningan mereka beramai-ramai ke luar rumah. Masyarakat yang laki-laki membawa kayu pulet, sementara yang perempuan membawa sesaji. Semua warga mengenakan pakaian adat madya, busana adat tingkat menengah.

Keunikan Lainnya

Busana warga yang laki-laki terdiri atas kain, dililitkan dengan ujungnya dilepas berbentuk kancut, disertai udeng sebagai ikat kepala mereka. Sementara, perempuan menggunakan busana baju kebaya, kain yang dililitkan dengan selendang sebagai ikat pinggang. Setiap warga laki-laki yang membawa kayu pulet berukuran kurang lebih dua meter.

Masyarakat akan beramai-ramai berjalan mengelilingi wilayah Desa Munggu diiringi gamelan baleganjur dan nyanyian-nyanyian kidung. Setiap melintasi persimpangan jalan dan pura, mereka berkumpul dan berputar-putar mengadupadankan kayunya hingga berbentuk kerucut menyerupai piramida. Benturan antar kayu pulet inilah yang menimbulkan suara “tek..tek..tek..…tek..tek..tek” dan membuat tradisi tersebut diberikan nama Makotek oleh masyarakat di Desa Munggu.

Dengan diiringi riuhnya gamelan balaganjur yang semakin meninggi, mereka berputar-putar semakin kencang dan histeris. Suasana tersebut mendidihkan jiwa semangat para peserta prosesi Makotek. Hingga kemudian diantara mereka ada yang naik memanjat ujung piramida. Setelah tiba di atas piramida, mereka menari-nari diiringi sorak-sorai dan riuhnya gamelan baleganjur. Hal itu menciptakan suasana kemeriahan yang sangat religius. Setelah melaksanakan tradisi ritual tolak bala tersebut, mereka pun kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan bahagia sekaligus lega.

Post a Comment