Desa Punya Cara Tersendiri, Negara Punya Aturannya Sendiri - Payana Dewa
Notifikasi

Loading…

Desa Punya Cara Tersendiri, Negara Punya Aturannya Sendiri

Desa Punya Cara Tersendiri, Negara Punya Aturannya Sendiri


Setiap kali berkumpul bersama kawan-kawan di cafe, saya memesan kopi di cafe, kawan-kawan lokal sini selalu kaget. Ada yang kaget-nya banget, ada yang sedikit lebih kalem.

Pasalnya mengapa mereka kaget?

Sederhana, saya pesan kopi kemudian menuangkan paling tidak 2 sendok gula pasir ke dalamnya. Ya, saya suka kopi yang 'manis'. Karena itulah kebiasaan saya ngopi, dan bagaimana dikenalkan kopi oleh mendiang kakek semasa kecil.

Sebaliknya, saya sedikit kaget melihat kebanyakan orang sini minum teh tak pakai gula, alih-alih mereka menuangkan susu ke dalamnya. Yes, you heard me, teh campur susu. Bagaimana rasanya? Silahkan praktekkan sendiri di rumah.

Meskipun demikian, tapi kemudian saya teringat peribahasa Jawa 'Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata'. Yang kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah 'Desa Punya Cara Tersendiri, Negara Punya Aturannya Sendiri'. Maknanya, setiap tempat, setiap masyarakat, setiap bangsa punya tata cara, aturan, norma dan hukum yang berbeda.

Tak ada yang paling benar, tak pula ada yang salah. Yang ada hanyalah keberagaman semata. Dan, seperti anjuran dari Julius Caesar, (ini saya tidak yakin beneran kutipan beliau atau tidak) "When in Rome, do as the Romans do."

Kenapa saya bicara soal ini. Baiklah, jujur karena keprihatinan betapa belakangan terutama semakin marak praktek intoleransi di negeri kita Indonesia. Semakin sering kita dengar, saksikan atau bahkan alami, ucapan, tulisan, tindakan orang-orang yang tidak menghargai adanya perbedaan. Alih-alih memaknainya dan menerimanya sebagai keniscayaan hidup, mereka memaksakan kebenaran mereka sendiri, entah dengan pembenaran mayoritas, agama atau sentimen politik dan lain sebagainya.

Mereka ibarat orang yang suka minum kopi tanpa gula yang dengan garang menggebuk penikmati kopi dengan gula macam saya. Mereka ibarat penyuka indomie rebus yang tak bisa paham apa nikmatnya menyantap indomie goreng. (Maaf bukan pesan sponsor apalagi berusaha jadi buzzer produk).

Walaupun demikian, saya belajar banyak hidup di negeri orang, menjadi yang minoritas, menemukan keyakinan lebih dalam bahwa menjadi berbeda adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang tidak bertentangan dengan kodrat dan cara Tuhan mengatur alam dunia. Dan menemukan orang lain, kelompok lain, masyarakat lain yang memegang nilai dan kebenaran yang berbeda bukanlah sesuatu yang musti ditakutkan, dinegasikan apalagi diperangi.

Karena, di ujung hari, kita semua tak lain dan tak lebih dari seorang manusia. Semua kita hanyalah manusia. Hitam putih kulit, lurus keriting rambut, Jawa, Sunda, Bali, Cina, Arab, dll semua hanyalah label fisik semata. Namun di dalam dada, di sanubari terdalam, kita semua sama manusianya.

Damai Indonesiaku. Damai kita dalam Kebhinekaan. Selamat Berlebaran.
Post a Comment