Notifikasi

Loading…

Sistem Kasta Bali, Masih Ada? Yuk Kenali Lebih Dalam

Apa yang terbesit dipikiran kamu jika mendengar kata “Kasta”? sebagian orang akan menjawab “Tingkatan”, “Golongan”, “Derajat” bahkan nama wilayah atau tempat akan menjadi tersorot dengan kata “Kasta”, misalnya saja dengan “Bali”. Hal ini dikarenakan Bali menjadi suatu wilayah atau daerah yang identik dengan sistem Kasta baik dari nama, status sosial, bahkan mengenai adat serta tradisi yang dilaksanakan nantinya.

Untuk itu, mari simak penjelasan artikel berikut agar lebih mengetahui sistem kasta yang ada di Bali ini!

Sejarah Awal Kasta di Bali

Di Indonesia kata “Kasta” tidak pernah ditemukan sampai runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit pada abad ke-14. Salah satu bukti tidak adanya sistem kasta di kerajaan Majapahit yaitu Mpu Sendok, seorang Brahmana, anak-anaknya menjadi Ksatrya di Medang Kemulan. Dari contoh ini dapat diartikan bahwa pada masa kerajaan Majapahit, siapapun dengan latar belakang apapun bisa menjadi seseorang dengan kasta Ksatriya. Hal ini membuktikan bahwa pengelompokan seseorang berdasarkan dengan keterampilan atau bakat yang dimiliki.

Contoh diatas sesuai dengan ajaran Hindu yang menerapkan ajaran “Catur Warna” yang termuat dalam kitab suci Bhagwadgita, IV. 13 dan XVIII. 41. Ajaran ini berdasarkan pada sifat, bakat atau kemampuan yang dimiliki seseorang. Jika kamu penasaran dengan “Catur Warna”, maka penjelasannya ada di poin setelah ini.

Kasta di Bali dimulai dari keberadaan kerajaan-kerajaan kecil setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Keberadaan kerajaan kecil ini dilihat oleh Belanda dan mulai mempraktekan politik pemecah belah melalui sistem kasta ini. Kasta memang diambil dari ajaran Hindu yaitu Catur Warna. Namun, dengan sistem pecah belah yang diterapkan Belanda, akhirnya masyarakat Bali tidak bisa membedakan antara kasta dan Catur Warna. Sehingga mengakibatkan kehidupan sosial yang dibuat rancu oleh orang yang berkasa tinggi pada masa itu. Hal ini akhirnya membuat kesalahpahaman dari pemaknaan “Warna, Wangsa dan Kasta”.

sistem kasta di bali

Perbedaan Pemahaman Sistem Warna, Wangsa dan Kasta

Perbedaan pemahaman antara sistem Warna (Catur Warna), Wangsa dan dilabeling dengan Kasta di Bali ini perlu ditelisik asal muasalnya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman lagi.

1. Warna (Catur Warna)

Dalam ajaran Hindu, Kasta tidak ditemukan melainkan ajaran Hindu menerapkan “Catur Warna” atau yang lebih dikenal dengan Warna. Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur", berarti ‘empat’ dan "Warna" yang berasal dari urat kata “Wr/Vr” (baca: Wri) yang artinya ‘memilih’. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas sifat, bakat atau pembawaan (guna) dan kemampuan kerja (karma) seseorang yang terus berkembang hamper diseluruh wilayah Indonesia.

Adapun Catur Warna terdiri dari 4 golongan yaitu Brahmana yang membidangi urusan keagamaan/kerohanian yang disimbolkan dengan warna putih, Ksatria bidang pemerintahan yang disimbolkan dengan warna merah, Waisya memberikan kesejahteraan yang disimbolkan dengan warna kuning, dan Sudra membantu dalam pelayanan yang disimbolkan dengan warna hitam.

2. Wangsa

Setelah perkembangan Catur Warna di Indonesia akhirnya mengalami perubahan (apakah dalam arti pengaburan atau penyimpangan) yang awalnya pembagian melalui asas profesionalitas menjadi garis keturunan yang disebut dengan Wangsa. Perubahan ini berkaitan dengan Bali yang menganut sistem Patrilineal.

4. Kasta

Kata "Kasta" berasal dari bahasa Portugis "Caste" yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Timbulnya istilah Kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian Warna. Pengaburan pengertian Warna ini melahirkan tradisi Kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. Istilah Kasta ini sebenarnya tidak dikenal apalagi diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu", sama sekali tidak ada hubungan dengan penggolongan masyarakat.

Mengenal Sistem Kasta di Bali

Kasta di Bali sudah hasil dari metamorfosis antara Warna dan Wangsa. Kasta sendiri hadir melalui pembagian tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. Jadi, antara Kasta dan Warna bertolak belakang dengan ajaran Hindu.

Di Bali, sistem kasta terdiri dari 4 golongan, yaitu:

  1. Kasta Brahmana: kasta tertinggi dari golongan pendeta dan pemuka agama dalam masyarakat Hindu. Orang yang berkasta ini di Bali ditandai dengan nama Ida Bagus atau Ida Ayu.
  2. Kasta Ksatria: kasta golongan kedua dari bangsawan dan prajurit dalam masyarakat Hindu. Orang-orang dari Kasta ini dituntut memiliki karismatik yang tinggi serta tulus dalam melakukan aktivitas nya dengan nama Anak Agung, Cokorda, atau Gusti.
  3. Kasta Waisya: kasta golongan ketiga dari pedangang, petani dan tukan dalam masyarakat Hindu. Namun untuk jaman sekarang siapapun bisa melakukan aktivitas ini. Kasta ini ditandai dengan nama Dewa, Desak, Ngakan, Kompyang, Sang, dan Si.
  4. Kasta Sudra: kasta terendah dari masyarakat biasa dalam masyarakat Hindu. Penamaan nya pun lebih bebas tanpa embel-embel rumit seperti I Putu Asta Wijaya, Luh Putu Dewi Sari, dan lain sebagainya sesuai urutan kelahiran orang tersebut. Untuk orang yang mengubah agama nya menjadi Hindu, umumnya berada di golongan ini, kecuali ada syarat tertentu sehingga bisa menggunakan gelar tertentu.

Kasta Bali Melalui Perkembangan Zaman

Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Bali sebagian besar sudah mulai memudarkan sistem Kasta dan menjadikan Kasta sebagai simbolis, formalitas dan penggunaan dalam tradisi yang menyangkut adat istiadat saja, misalnya dalam adat pernikahan.

Sistem kasta pada perkembangan zaman memang membawa dampak negatif karena pengelompokan tersebut membuat kelompok bahwa juga terbatas dalam meniti karir maupun pendidikan. Hal ini menyebabkan perlawanan dari kelompok bawah sehingga seiring berjalannya waku, sistem kasta tidak sekaku itu dan mulai diterima perubahannya sehingga menciptakan masyarakat yang inklusif dan berpikiran terbuka.

Hal ini dibuktikan melalui penggunaan sistem kasta di Bali hanyalah sebatas penyematan gelar di depan nama seseorang. Gelar yang dimiliki tidak akan berpengaruh pada jenis pelayanan yang diberikan. Gelar ini tidak banyak berpengaruh di sektor publik, dan terbatas di lingkungan masyarakat adat.

Post a Comment