Keberhasilan Wajib Disyukuri, Tapi Tidak Perlu Memamerkan Diri - Payana Dewa
Notifikasi

Loading…

Keberhasilan Wajib Disyukuri, Tapi Tidak Perlu Memamerkan Diri


Keberhasilan Wajib Disyukuri, Tapi Tidak Perlu Memamerkan Diri

Ketika nasib kita berubah dari sosok yang selama ini dipandang sebelah mata menjadi sosok yang dihargai di mana-mana, tentu saja menghadirkan rasa suka cita yang patut disyukuri. Sayang sekali, banyak orang yang setelah sukses melepaskan diri dari keterpurukan dan hidup dalam berkecukupan sering kali lupa diri. Di zaman dulu, dikenal dengan istilah "O.K.B" atau biasa disebut Orang Kaya Baru yang menampilkan perilaku yang mencolok dalam pandangan mata tetangganya.

Maklum selama ini untuk makan saja terpaksa ngebon di warung, tapi kini saking kelimpahan rezeki maka apapun mampu dibeli. Dan tidak hanya sebatas itu, tetapi gaya hidup juga mendadak berubah total. Kalau dulu, setiap kali berpapasan dengan tetangga ataupun kenalan selalu menyapa dengan santun nan ramah. Tapi kini, merasa diri sudah sukses, merasa cukup menyapa secara asal-asalan. Kalau bertemu teman lama, maka tanpa diminta dengan bangga akan menceritakan segala pencapaiannya. Sejak beli kendaraan seharga ratusan juta dan rumah baru yang bernilai miliaran rupiah.

Pengalaman Pribadi

Sahabat baik dan sekaligus tetangga sewaktu masih remaja, sebut saja namanya Nyoman (bukan nama sebenarnya), sudah lebih dari hampir 10 tahun lamanya kami tidak pernah bertemu dan putus kontak.
Suatu waktu, saya dapat nomor telepon Nyoman dari salah seorang kenalan saya. Maka dengan hati yang berbunga-bunga saya mencoba untuk menelpon. Alangkah senang rasanya dapat mendengarkan suara sahabat saya yang sudah lebih dari 10 tahun kiranya tidak pernah bertemu lagi karena Nyoman sering bepergian ke luar negeri. Pertama yang ditanyakan adalah: "Apa usahamu sekarang mbok Dayu ?"
Dan saya jawab: "Saya masih berdagang kecil-kecilan di Paris. Kini saya dan putri saya tinggal di apartemen sederhana di pinggiran kota Paris."

"Oooh.. Saya baru saja beli 2 unit rumah di Denpasar untuk orang tua saya, kalau kedua anak saya ikut saya dan sekolah disini, di Perth. Ternyata harga rumah di Denpasar jauh lebih mahal dibanding di Australia ya mbok Dayu. Saya kasihkan ke orang tua saya satu rumah, dan yang satunya lagi rencananya mau  untuk refreshing kapan kami mau pulang ke Bali. Dan seterusnya dan seterusnya..."

Selama pembicaraan, saya hanya kebagian menjawab satu saja pertanyaan dan selanjutnya sahabat baik saya Nyoman yang menceritakan keberhasilannya. Sebagai seorang sahabat, tentu saja saya senang mendengarkan bahwa sahabat saya berhasil. Tapi suasana hati saya yang tadinya meluap-luap saking senangnya, mendadak bagaikan bara api tersiram hujan lebat.

Nyoman lupa menanyakan, bagaimana keadaan saya dan anak saya? Apakah anak saya sehat? Karena seluruh rangkaian pembicaraan 99,9 persen adalah menceritakan kesuksesan demi kesuksesan yang berhasil diraihnya?

Iri hatikah saya? Tentu saja tidak. Karena kendati kondisi saya jauh dari sebutan "kaya", tapi saya tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan bahwa saya diberikan hidup yang berkecukupan.

Berbicara Itu Ada Seninya

Bisa jadi akibat luapan rasa sukacita maka begitu ada kesempatan bertemu sahabat lama, maka secara tanpa sadar telah mencurahkan seluruh ungkapan rasa bangga akan keberhasilan yang sudah diraihnya. Namun sesungguhnya untuk berinteraksi dengan orang lain, termasuk sahabat baik kita, ada seni berbicara yang hendaknya dijadikan pegangan, yakni memberikan kesempatan kepada lawan bicara kita untuk berbicara. Hindari memonopoli pembicaraan karena mengakibatkan hubungan yang selama bertahun-tahun dibina akan memudar, hambar dan tawar.

Ada hal yang jangan sampai dilupakan bahwa apa yang bagi kita sesuatu yang "Wow" dan membanggakan, boleh jadi bagi orang lain hanyalah hal tidak berarti. Sejumlah uang yang bagi kita sangat menakjubkan, ternyata bagi orang lain boleh jadi hanya uang recehan semata.
Bangga tentu saja boleh, tapi tentu harus tahu hingga di mana batasnya. Semakin tinggi kita menonjolkan diri hanya akan mempertinggi tempat kita jatuh.

Ibarat kalau berjalan di tempat yang datar, seandainya suatu waktu tergelincir kita bisa langsung bangkit berdiri lagi. Tapi kalau kita berjalan di tempat yang tinggi maka sekali jatuh kita sudah tidak mungkin bisa bangkit lagi.
Post a Comment