Sejarah Pura Tirta Harum, Kawitan Satria Taman Bali, Bangli - Payana Dewa
Notifikasi

Loading…

Sejarah Pura Tirta Harum, Kawitan Satria Taman Bali, Bangli

Sejarah keberadaan Pura Tirta Harum sangat erat kaitannya dengan kelahiran Sang Angga Tirta yang dikenal dalam khazanah sejarah sebagai cikal bakal pratisentana Maha Gotra Tirta Harum di Bali.
Sejarah Pura Tirta Harum, Kawitan Satria Taman Bali, Bangli

Siapakah Sang Angga Tirta ?

Sejarah singkat

Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa adalah raja di Kerajaan Wengker, Daha, dan Keling. Dari segi genealogis atau hubungan kekerabatan, beliau adalah paman dan sekaligus menjadi mertua dari Raja Majapahit Hayam Wuruk. Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam prasasti Her Abang II berangka tahun 1384 Masehi, dan prasasti Tamblingan III berangka tahun 1398 Masehi. Dalem Keling menyandang gelar abhiseka Paduka Shri Maharaja Raja Parameswara Shri Wijaya Rajasa Sakala Praja Nanda Karana yang menjabat sebagai salah seorang anggota lembaga tertinggi di kedatuan Majapahit yang dikenal dalam sejarah sebagai Sapto Prabu, satu institusi penting dan menentukan di Kerajaan Majapahit pada periode pemerintahan Raja Hayam Wuruk.

Di Jawa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa hanya mempunyai seorang putri sehingga keturunannya di Kedatuan Majapahit adalah dari unsur wanita atau wadon.

Setelah meninggal dimulyakan dengan abhiseka Shri Paduka Parameswara Sang Mokta ring Sunyalaya, diperabukan di Desa Manyar Gresik dalam bentuk sebuah Candi yang diberi nama Candi Wisnu Bhuwana serta untuk memulyakan arwah Bhre Wengker, maka dibangun sebuah candi bernama Candi Wisnubhuwanapura di Dusun Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri (Jawa Timur).

Kemelut dan krisis kepemimpinan penguasa di Bali pada tahun 1380 Masehi mendorong Raja Majapahit Shri Natha Hayam Wuruk menugaskan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa sebagai anggota Pahom Narendra yang lebih dikenal dengan nama kelompok Sapto Prabhu di Kedatuan Majapahit untuk melaksanakan pergantian mahkota kerajaan dan menata pemerintahan di daerah taklukan Bali. Mencermati realitas sejarah atas kiprah Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa selama 9 (sembilan) tahun di Bali.

Menurut Babad Purana Batur, Bhatara Guru atau Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa di Bali menurunkan tiga orang putri dan seorang putra. Putra bungsunya ini oleh Babad Batur atau Purana Batur dikisahkan lahir di Permandian Tirta Harum.

Cuplikan yang tersurat dalam Purana Batur itu antara lain sebagai berikut : Bhatara Guru malih medruwe putra lanang I Gede Putu, cahi Putu manipuan cahi turunang Bapa ke Tirta Toya Mas Harum.

Di lokasi pancuran yang dicatat dalam Purana Batur dengan nama Toya Tirta Mas Harum, ini telah berdiri Pura Tirta Harum yang merupakan salah satu pura bersejarah dan sekaligus menjadi juga pura kawitan, yang berhubungan dengan kisah Bhatara Wisnu Bhuwana yang mempersunting Dewi Njung Asti.

Sang Angga Tirta dalam khazanah sejarah diketahui diangkat atau didharma putra oleh Dhang Hyang Aji Jaya Rembat sebagai putra angkat. Tidak bisa diragukan lagi bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa adalah pembentuk, pembangun klan atau trah di Bali yang dikenal dengan sebutan saat ini sebagai Maha Gotra Tirta Harum.

Babad Purana Batur menyuratkan bahwa Ni Dewi Njung Asti dipersunting oleh Bhatara Wisnu Bhuana berputra Sang Angga Tirtha. Putra satu-satunya inilah kelahirannya dikaitkan dengan mata air Tirta Harum yang disuratkan dalam Babad Purana Batur itu dalam rentang waktu yang panjang nantinya menurunkan raja-raja Tamanbali, Nyalian, dan Bangli.

Interpretasi tentang mitologi yang menceritakan Bhatara Wisnu Bhuana yang turun dari sorga loka mempersunting Ni Dewi Njung Asti sampai saat ini masih sangat beragam. Namun konklusi yang dapat diambil dari mitologi ini setelah ditemukannya sumber-sumber primer sejarah sebagai hilikita berupa lempengan 21 lembar prasasti Her Abang II berangka tahun 1384 Masehi, 8 (delapan) lembar prasati dikeluarkan oleh Shri Maharaja Raja Paramerswara saat ini tersimpan di Pura Tuluk Biu Kintamani.

Prasasti Tamblingan III berangka tahun 1398 Masehi, yang saat ini disimpan di Puri Gobleg Buleleng menguatkan dugaan para sejarawan bahwa yang dijuluki sebagai Bhatara Wisnu Bhuana dalam pariagem Purana Batur tiada lain adalah Dalem Keling yang menyandang Abhiseka Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa.
Putrany yang paling bungsu yang bernama Sang Angga Tirta inilah kelahirannya dikaitkan dengan Pura Tirta Harum yang dikenal dalam khazanah sejarah sebagai cikal bakal pratisentana Maha Gotra Tirta Harum di Bali.

Dalam rentang waktu yang panjang karena titah dan kehendak sejarah putra satu-satunya dari Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa menurunkan “warih” keturunan yang menjadi raja-raja di Kerajaan Tamanbali, Nyalian, dan Bangli.

Dari Sejarah Kerajaan Bangli Tersebut empat para Hyang bersaudara bernama Sanghyang Angsanabra (Sekar Angsana) di Gelgel, Sanghyang Subali di Gunung Tolangkir, Sanghyang Aji Rembat di Pura Kentel Gumi. Sanghyang Mas Kuning di Giri Lor Abang. Sedangkan, Sanghyang Subali pergi ke jurang Melangit menciptakan air suci yang harum (Tirta Harum) pada hari Selasa, Kliwon, Julungwangi, purnama bulan keempat.
Kemudian Sanghyang Subali mendirikan taman yang indah di sebelah barat laut Tirta Arum, diberi nama Taman Bali.

Setelah itu, Sanghyang Subali menyerahkan Tirta Arum dari Taman itu kepada Sanghyang Aji Rembat.

Sanghyang Subali moksa, menghadap Sanghyang Wisnu Bhuana memohon seorang anak, diberi nama Sang Angga Tirta. Anak tersebut diletakkan pada saluran air (pancuran) di Tirta Arum. Sanghyang Aji Rembat memungut bayi tersebut. Dan menerima wahyu, (sabda angkasa) dari Sanghyang Subali, bahwa anak itu adalah anugrah Dewa Wisnu bernama Angga Tirta dan kemudian agar diberi nama Sang Anom. Anak tersebut diupacarai oleh Sanghyang Aji Rembat dan berdiam di pura Agung Guliang.

Tersebut bahwa Sanghyang Angsana di Gelgel mempunyai seorang putri bernama Dewa Ayu Mas Dalem .

Karena, seringnya terserang penyakit, kemudian sembuh berkat pengobatan Sanghyang Aji Rembat di asramnya.

Terjadi hubungan gelap (seperti suami istri) antara Sang Anom dengan Dewa Ayu Mas Dalem. Dewa Ayu Mas Dalem diantar ke Gelgel, Segera Sanghyang Sekar Angsana mengusut putrinya karena menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Sang putri mengaku terus terang berkat hubungannya dengan Sang Anom.

Sanghyang Sekar Angsana mengirim pasukan untuk menyerang ke Pura Agung Guliang, menangkap Sang Anom namun gagal, Sang Anom tidak dijumpai. Sang Anom melarikan diri ke Alas Jarak Bang kemudian desa itu disebut Jagat Bali.

Sang Anom menjadi incaran, dan pengejaranpun terus dilakukan dan Sang Anom tertangkap dan dibawa ke Gelgel.

Sanghyang Aji Rembat amat kecewa, melaporkan hal itu secara gaib kepada Sanghyang Sekar Angsana di Gelgel perihal riwayat Sang Anom serta pantas menjadi suami Dewa Ayu Mas Dalem.

Pernikahan pun segera dilakukan. Dari sudut pandang geneologi atau hubungan kekerabatan dapat ditelusuri bahwa dari segi kepurusa atau garis kebapakan darah yang mengalir di tubuh Sang Angga Tirta adalah darah kesatrya sedangkan dari unsur wadon atau garis keibuan mengalir darah catur pandita atau kebrahamanaan. Dengan mengikuti realitas sejarah itu dapat diambil kesimpulan bahwa Sang Angga Tirta sebagai cikal bakal Maha Gotra Tirta Harum di Bali adalah gur kesatrya kebrahmanaan. Ia adalah Satrya Dalem karena ayah biologisnya Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa adalah raja di Kerajaan Wengker, Daha, dan Keling, sedangkan Ni Dewi Njung Asti sebagai wanita cikal bakal dan sumber benih dari Sang Angga Tirta adalah putri dari Dhang Hyang Subali sebagai Manggala dan Bhagawanta Dalem Samprangan yang berdarah brahmana keturunan catur pandita di Bali.

Dari sudut pandang historis sosiologis dapat dicermati bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa yang berputra Sang Angga Tirta adalah sebagai Wamsakarta Maha Gotra Tirta Harum di Bali. Wamsakarta adalah akronim yang diberikan oleh para peneliti sejarah bagi sosok atau gur sejarah yang berhasil mengembangkan dan membentuk kewangsaan atau klan tertentu dan menjadi raja-raja pada kurun waktu tertentu serta dicermati ikut menentukan jalannya sejarah. Menurut babad Pasek bahwa Ki Pasek Sadri menjadi sisya di Pasraman Siladri dengan Dhang Acarya adalah Dhang Hyang Jaya Rembat. Setelah beberapa lama berguru spiritual dari Dhang Hyang Jaya Rembat maka Ki Pasek Sadri dipodgala sehingga kemudian menyandang nama Ki Dukuh Suladri.

Dengan predikat sebagai pandita maka Ki Dukuh Suladri tinggal tak jauh dengan dhang guru nabenya yakni Dhang Hyang Jaya Rembat. Ki Dukuh Suladri lalu membangun sebuah pasraman yang letaknya disebelah utara dari pasraman Dhang Hyang Jaya Rembat masih berada dikawasan hutan dan sungai Melangit dekat dengan mata air Tirta Harum. Bekas pasraman Ki Dukuh Suladri ini berdiri sebuah pura kuno yang bernama Pura Taman Sari.

Di pasraman Pura Taman Sari ini Ki Dukuh Suladri mengabdikan seluruh sisa hidupnya. Pedukuhan Taman Sari ini secara sosiologis menarik penduduk daerah sekitarnya untuk ikut tinggal bermukim disana. Kawasan yang subur dekat hutan dan sungai Melangit itu lama kelamaan menjadi tempat hunian penduduk dan secara historis tempat itu sampai saat ini dikenal dengan nama Banjar Dukuh.
Babad Pasek secara panjang lebar menyuratkan bahwa Ki Dukuh Suladri yang membangun pasraman di Taman Sari itu menurunkan 4 (empat) orang putra- putri dari 2 (dua) orang istrinya. Disebutkan bahwa istri pertamanya anugrah dari Dalem Gelgel Shri Aji Dalem Semara Kepakisan dan istri keduanya keturunan Pasek Denpasar. Dari istri pertama anugrah Dalem Gelgel seorang dayang berasal dari Kamal diketahui Dukuh Suladri menurunkan dua orang putri kembar yang berparas cantik. Dua yang pertama diberi nama Ni Luh Ayu Sadri dan yang kedua diberi nama Ni Luh Ayu Sadra.

Sedangkan dari istri keduanya lahir dua orang putra yang pertama diberi nama I Gede Pasek Sadri, sedangkan adiknya bernama Made Pasek Sadra. Sudah menjadi kehendak dan titah sejarah putra putri Ki Dukuh Suladri yang beranjak dewasa dan kedua putri kembarnya yang berparas cantik masing- masing Ni Luh Ayu Sadri bertemu jodoh dengan Sang Angga Tirta, sedangkan adiknya yang bernama Ni Luh Ayu Sadra dikisahkan dipersunting oleh Dalem Gelgel Shri Aji Dalem Baturenggong.

Dari segi genealogi atau hubungan kekerabatan maka dapat dicermati bahwa Sang Angga Tirta yang setelah dewasa bernama I Dewa Gede Sang Anom Bagus itu adalah bersaudara ipar dengan Dalem Gelgel Shri Aji Baturenggong. Sudah menjadi kehendak sejarah pula bahwa putra dari Sang Angga Tirta dari perknikahan dengan Ni Luh Ayu Sadri yaitu Sang Garba Jata kawin dengan sepupunya bernama Ni Dewi Ayu Mas. Dikisahkan dalam babad Pasek bahwa Ni Luh Ayu Sadra yang dipersunting oleh Dalem Gelgel Shri Aji Waturenggong berputri Ni Dewi Ayu Mas.

Mengikuti realitas sejarah diatas, maka keturunan Sang Angga Tirta merupakan kerabat dekat dari Dalem Gelgel Shri Aji Dalem Baturenggong. Dengan diangkatnya Sang Angga Tirta sebagai putra dharma dari Dhang Hyang Jaya Rembat maka secara dinastik Sang Angga Tirta adalah menjadi bujangga, sedangkan dari segi biologis kita mengetahui bahwa Sang Angga Tirta adalah putra biologis dari Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa.

Hubungan kekerabatan yang sangat dekat itu menjadikan Sang Angga Tirta dan keturunannya memegang posisi sentral dalam khazanah sejarah Bali dan sangat wajar masuk dalam jajaran birokrasi kerajaan. Salah seorang putra Sang Angga Tirta dalam babad Purana Batur disuratkan dengan nama I Gede Putu diberi kedudukan disebuah kawasan yang kemudian menyandang sebutan I Dewa Manca Tamanbali, sesuai dengan daerah kekuasaannya yang menjadi dan bernama Kerajaan Tamanbali.


Peristiwa lahirnya Kerajaan Tamanbali dan diangkatnya ketiga putra kesatriya dan brahmana itu dalam sejarah Bali tercatat terjadi pada tahun 1524 Masehi. Lahirnya Kerajaan Tamanbali pada tahun 1524 Masehi dengan raja pertamanya Sang Garbhajata memakai gelar abhiseka I Dewa Tamanbali adalah tonggak sejarah yang menumental bagi wangsa Maha Gotra Tirta Harum. Piodalan Pura Tirta Harum. Anggara Kasih Juluwangi
Post a Comment